Senin, 07 Juli 2014

sistem Mudhorobah solusi ekonomi umat

Oleh: Said Yai, MA
Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)
Allah subhanahu wa ta'ala juga mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa.
Di antara produk Islam di dalam bidang ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisa menjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar, terlebih lagi untuk orang-orang yang:
  1. Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
  2. Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
  3. Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.
Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam.
Di zaman nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّهُ كَانَ يَدْفَعُ الْمَالَ مُقَارَضَةً إِلَى الرَّجُلِ وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَمُرَّ بِهِ بَطْنَ وَادٍ وَلاَ يَبْتَاعُ بِهِ حَيَوَانًا وَلاَ يَحْمِلَهُ فِى بَحْرٍ فَإِنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ ضَمِنَ ذَلِكَ الْمَالَ قَالَ فَإِذَا تَعَدَّى أَمْرَهُ ضَمَّنَهُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ.
“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]
Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?
Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.
Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:
  1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
  2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
  3. Ra’sul-maal (modal)
  4. Al-‘Amal (pekerjaan)
  5. Ar-Ribh (keuntungan)
Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).
Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.
Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.
Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:
  • Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
  • Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.
Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.
A. Investor dan Pengusaha
Investor dan pengusaha adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.
Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan pendapat dalam hal ini.
B. Akad
Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:
- Adanya kesepakatan jenis usaha
- Adanya keridhaan dari kedua belah pihak
- Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha
Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.
C. Modal
Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:
- Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang
Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.
Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.
- Harus nyata ada dan bukan hutang
Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”
- Harus diketahui nilai harta tersebut
Modal yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkan keuntungan.
- Harus diserahkan kepada pengusaha
Modal dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.
D. Jenis Usaha
Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.
E. Keuntungan
Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan
- Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.
- Harus diprosentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha
Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% - 50%, 60% - 40%, 5 % - 95% atau 95% - 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.
Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% - 100% atau 100% - 0%.
Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
- Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak
Tidak boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.
Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?
Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.
Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.
Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?
Apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.
Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.
Bagaimana solusinya agar pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebut bisa mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?
Apabila pengusaha berhutang kepada simpanan usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, dan hal tersebut disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.
Hutang tersebut harus dibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.
Apabila pengusaha berhutang Rp 10 juta, misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya dia mendapatkan Rp 15 juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayar hutangnya Rp 10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.
Akan tetapi, jika tenyata pembagian keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belum terbayar seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.
Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.
Adapun yang diterapkan di lembaga-lembaga keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham, keuntungan usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yang diinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko kerugian, maka jelas sekali ini adalah riba.
Setelah membaca paparan di atas, tentu kita akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariat kita. Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezaliman antara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan sampai perekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang kafir.
Coba kita bayangkan jika seluruh usaha baik kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, maka ini akan menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macam riba yang sudah membudaya di masyarakat kita.
Ini juga menjadi solusi bagi orang-orang yang tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiri dan ini juga menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
Sungguh indah syariat Islam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Demikian. Mudahan bermanfaat.
Maraji’:
  • Al-Mudharabah fi Asy-Syari’ati Al-Islamiyah. Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Kunuz Isybilia.
  • As-Sunan Al-Kubra. Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi. Majlis Dairatil-Ma’arif.
  • Sunan Ad-Daruquthni. Abul-Hasan ‘Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthni.
  • Syarhul-Mumti’. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments

Kaidah Penting Transaksi Riba: Persyaratan Tertulis Dan Tidak Tertulis

Dalam menjalankan berbagai akad, kita seringkali mensyaratkan berbagai persyaratan. Bila kita cermati persyaratan-persyaratan yang biasa terjadi dalam perniagaan, niscaya kita akan dapatkan ada dua macam persyaratan:
Persyaratan yang dituangkan dengan tegas secara lisan atau tulisan dalam akad penjualan.
Persyaratan yang tidak dituangkan secara tulisan atau lisan dalam akad penjualan, akan tetapi persyaratan itu telah diketahui dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat (baca I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim, 2/414, Asy-Syarhul Mumti' oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin, 9/11 dan Dirasatun Syar'iyyah oleh Dr. Muhammad Musthafa as Syanqithy, 1/50-53). Para ulama menuangkan hukum persyaratan jenis kedua ini dalam suatu kaidah,
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
"Sesuatu yang telah diketahui secara bersama, bagaikan hal yang telah ditegaskan dalam persyaratan."
Sebagai contoh bagi persyaratan jenis kedua, bila suatu masyarakat memiliki tradisi bahwa dalam jual beli barang mebel dan yang serupa, penjual berkewajiban mengantarkan mebel yang telah dibeli ke rumah pembeli, tanpa tambahan biaya, maka tradisi ini memiliki kekuatan hukum sehingga harus dijalankan. Dengan demikian, penjual (toko) berkewajiban mengantarkan barang yang telah terbeli ke rumah pembeli, walaupun ketika akad pembelian kedua belah pihak tidak menyinggung-nyinggung sama sekali servis antar ini. Karena, kebiasaan masyarakat ini bagaikan salah satu persyaratan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad jual beli mereka, sehingga kebiasaan ini wajib diindahkan oleh kedua belah pihak.
Kaitan pembahasan hal ini dengan hukum riba adalah setiap faidah atau tambahan yang dipersyaratkan dari suatu piutang, baik dipersyaratkan secara tertulis sebagai persyaratan atau telah menjadi tradisi pelaku akad, maka semuanya dikategorikan sebagai riba. Misalnya, seseorang yang telah dikenal bahwa ia tidak sudi untuk mengutangkan uangnya kepada orang lain, kecuali bila pengutang memberikan bunga 10%, maka kebiasaannya tersebut telah menjadi persyaratan yang mempengaruhi hukum akad utang piutangnya, dan status bunga yang ia ambil adalah riba.
Oleh karena itu, tatkala praktik riba telah merajalela di negeri Irak, maka sahabat Abdullah bin Salam radhiallahu 'anhu berpesan kepada Abu Burdah untuk tidak menerima hadiah yang diberikan oleh pengutang,
عن أبي بردة قال قدمت المدينة، فلقيت عبد الله بن سلام، فقال: انطلق معي المنزل فأسقيك في قدح شرب فيه رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، وتصلي في مسجد صلى فيه؟ فانطلقت معه، فسقاني سويقا، وأطعمني تمرا، وصليت في مسجده. فقال لي: إنك في أرض، الربا فيها فاش، وإن من أبواب الربا: أن أحدكم يقرض القرض إلى أجل، فإذا بلغ أتاه به، وبسلة فيها هدية، فاتق تلك السلة وما فيها. رواه البخاري والبيهقي
"Dari Abu Burdah, ia mengisahkan, 'Aku tiba di Madinah, lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam, maka beliau berkata (kepadaku), 'Mari singgah ke rumahku, dan akan aku hidangkan untukmu minuman di bejana yang pernah digunakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk minum, dan engkau dapat menunaikan shalat di tempat yang pernah beliau gunakan untuk shalat.' Maka, akupun pergi bersamanya. Lalu ia memberiku minuman dari gandum (sawiq), dan menghidangkan untukku kurma, dan aku menunaikan shalat di tempat ia shalat (mushalla dalam rumah-pen.). Selanjutnya beliau berpesan kepadaku, 'Sesungguhnya engkau tinggal di suatu negeri yang padanya praktik riba merajalela, dan sesungguhnya di antara pintu-pintu riba ialah seseorang dari kalian memberikan piutang hingga tempo tertentu, dan bila telah jatuh tempo, penghutang datang dengan uang yang ia hutang sambil membawa serta keranjang yang berisikan hadiah, maka hendaknya engkau menghindari keranjang beserta isinya itu." (HR. Bukhari dan al-Baihaqi).
Bila kita amati, maka kita akan dapatkan bahwa nasabah yang menabungkan dananya di bank syariah agar mendapatkan bagian hasil, -biasanya atau bahkan semuanya- tidak sudi bila dananya terkurangi walau pihak bank mengalami kerugian. Dengan demikian, berdasarkan kaidah ini -walau tidak dituliskan atau diucapkan-, maka bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah adalah riba, dan bukan bagi hasil.
Adapun bila tidak ada persyaratan yang tertulis atau terucap, juga tidak ada tradisi sebelumnya, maka penghutang ketika saat pelunasan dibenarkan untuk memberikan hadiah sebagai ungkapan terima kasih. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Rafi' radhiallahu 'anhu berikut,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Rafi' untuk menyerahkan anak untanya kepada orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Rafi' kembali menemui beliau dan berkata, 'Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.' Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, 'Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berkata, "Pada hadits ini terdapat pelajaran, bahwa orang yang berhutang disunahkan untuk membayar hutang dengan yang lebih baik dari piutang yang sebenarnya ia tanggung. Perbuatan ini termasuk hal yang disunahkan dan akhlak terpuji, serta tidak termasuk dalam piutang yang mendatangkan kemanfaatan yang terlarang. Karena yang dilarang ialah kemanfaatan yang dipersyaratkan pada saat akad piutang. Menurut madzhab kita (madzhab Syafi'i), disunahkan untuk memberikan tambahan pada saat pelunasan melebihi jumlah piutang yang sebenarnya. Sebagaimana diperbolehkan pula bagi pemberi piutang untuk menerima tambahan tersebut, baik tambahan berupa kriteria yang lebih baik, atau tambahan dalam jumlah, misalnya menghutangi sepuluh, lalu penghutang memberinya sebelas dinar." (Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi'i, 11/37).
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathu al-Bari, bahkan beliau memberikan tambahan penting, yaitu diharamkannya tambahan yang dipersyaratkan pada akad piutang adalah suatu hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama (Fathu al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 5/67).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.PengusahaMuslim.com
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments

Haram dimanfaatkan, Haram diperdagangkan

Segala sesuatu yang haram pemanfaatannya, maka haram pula diperdagangkan.
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).”[1]
Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan,
وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia pun melarang upah (hasil penjualannya).”[2]
Yang termasuk dalam pemanfaatan yang haram sehingga jual belinya terlarang adalah jual beli rokok, dadu, kartu judi, buku yang berisi kekufuran, kebid’ahan, pemikiran sesat atau berisi akhlak yang rusak seperti buku porno, buku yang berisi gambar perempuan yang membuka aurat, baju yang terdapat gambar makhluk yang memiliki ruh, baju yang terdapat gambar wanita, pakaian wanita yang ketat dan seksi, dan baju yang memiliki salib.
Segala makanan atau minuman yang diharamkan, maka diharamkan pula diperdagangkan. Sebagian yang dimaksud sudah disebutkan di atas. Makanan lainnya yang diharamkan adalah:
- Hewan yang disembelih tanpa disebut nama Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)
- Hewan yang dikurbankan atau sebagai tumbal untuk selain Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3).
- Keledai jinak, sedangkan keledai liar itu halal.
Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.“[3]
- Binatang yang bertaring dan burung yang memiliki cakar.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.”[4]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring -menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[5] Adapun yang dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek seperti pada burung nasar dan burung elang, sebagaimana dikatakan oleh penulis ‘Aunul Ma’bud.[6]
- Hewan jalalah (yang mengkonsumsi yang najis atau mayoritas konsumsinya najis)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.”[7]
- Setiap yang diperintahkan untuk dibunuh
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya)[8] yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).”[9]
Yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[10]
Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik.”[11] Imam Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cecak.”
Dari Ummu Syarik –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.[12]
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.”[13]
- Setiap hewan yang dilarang untuk dibunuh
Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau dan katanya biasa memangsa burung pipit), dan katak.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.”[14]
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ia berkata,
أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.
Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.”[15] Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air yang dibolehkan untuk dikonsumsi.”[16]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Segala hewan yang dilarang untuk dibunuh disebabkan karena dua alasan. Pertama, karena hewan tersebut adalah terhormat (seperti semut dan lebah, pen) sebagaimana manusia. Kedua, boleh jadi pula karena alasan daging hewan tersebut haram untuk dimakan seperti pada burung Shurod, burung Hudhud dan semacamnya.”[17]

[1] HR. Ad Daruquthni 3: 7 dan Ibnu Hibban 11: 312. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[2] HR. Ahmad 1: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[3] HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940.
[4] HR. Muslim no. 1934.
[5] Syarh Shahih Muslim, 13: 77.
[6] ‘Aunul Ma’bud, 10: 198.
[7] HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[8] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 101.
[9] HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198.
[10]    Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.
[11] HR. Muslim no. 2238.
[12] HR. Bukhari no. 3359.
[13] HR. Muslim no. 2240.
[14] HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16]    Aunul Ma’bud, 10: 252
[17]    Idem.
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments

Jual Beli dengan Harta Orang lain tanpa IZIN

Tepatnya jual beli ini disebut dengan jual beli fudhuli. Misalnya saja ada yang menitipkan suatu harta pada kita. Maksudnya adalah ia meminta pada kita untuk membeli HP second, lalu ternyata dengan uang yang ada bisa dibeli 2 HP second sesuai yang diinginkan.
Nah, jual beli fudhuli seperti itu. Jual beli tersebut adalah dengan membelanjakan harta orang lain tanpa izin dari si empunya. Itulah yang akan dikaji oleh Rumaysho.Com kali ini.
Terlebih dahulu kita perhatikan hadits berikut ini di mana disebutkan dalam kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar saat membahas syarat dan jual beli yang terlarang.
عَنْ عُرْوَةَ – يَعْنِى ابْنَ أَبِى الْجَعْدِ الْبَارِقِىِّ – قَالَ أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ
Dari ‘Urwah, yaitu Ibnu Abil Ja’di Al Bariqiy, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun membeli dua kambing. Di antara keduany, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud no. 3384 dan Tirmidzi no. 1258. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Jual beli fudhuli adalah jual beli di mana seseorang membelanjakan harta orang lain tanpa ada izin. Jual beli baru dikatakan sah jika diizinkan oleh pemilik harta tersebut.

Beberapa faedah yang bisa digali dari hadits di atas:

1- Bolehnya mewakilkan jual beli pada orang lain. Beberapa bentuk jual beli, misalnya jual beli oleh agen, majikan mewakilkan pada penjaga toko, atau bentuk yang dikenal dengan konsinyasi itu dihukumi sah. Bentuk jual beli seperti ini telah mendapatkan izin dari yang memiliki barang.
“Konsinyasi merupakan suatu perjanjian di mana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi.”
2- Boleh mewakilkan pada orang lain dalam pembelian hewan kurban.
3- Bolehnya orang yang mewakili memanfaatkan harta yang diwakili untuk suatu hal manfaat bagi pemilik harta tersebut walaupun tidak diperintah atau tanpa izinnya. Demikianlah yang dilakukan oleh Urwah dalam hadits di atas.
4- Bolehnya jual beli fudhuli yaitu membelanjakan harta orang lain tanpa izin. Karena uang yang dibawa oleh Urwah sebenarnya hanya diperintah untuk membeli satu kambing. Namun ternyata ia membeli lebih tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dan setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya.
Misalnya lagi, si A menjual mobil si B karena menganggap maslahat walaupun tanpa izin dari si B, pemilik mobil itu. Setelah itu si A memberitahu pada si B bahwa mobilnya telah dijual. Yang terjadi setelahnya, si B mengucapkan  terima kasih karena mungkin ia sebenarnya juga punya niatan untuk menjual namun belum kesampaian. Ketika sudah mendapatkan izin dari si B, jual belinya dihukumi sah. Namun jika ia tidak ridho, maka tidaklah sah jual beli tersebut dan mobil tersebut harus dikembalikan.
Ringkasnya, jual beli fudhuli itu sah jika telah diizinkan oleh si pemilik harta. Inilah pendapat yang lebih tepat dari pendapat para ulama yang ada.
Sebagian ulama menganggap tidak boleh jual beli semacam itu karena bukan dilakukan oleh si pemilik harta atau yang mewakilinya, namun dalil dari hadits Urwah ini sudah mematahkan pendapat tersebut. Kita bisa pula mengambil pelajaran kadang logika harus ditundukkan dengan dalil.
5- Hendaklah setiap orang membalas kebaikan orang yang telah berjasa padanya. Lihatlah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Urwah telah memanfaatkan harta beliau dengan baik, beliau pun membalasnya dengan mendoakan kebaikan untuk Urwah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
Siapa yang memberikan kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika engkau tidak dapati sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah kebaikan untuknya sampai engkau yakin telah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Daud no. 1672 dan An Nasai no. 2568. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
6- Ampuhnya doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu menunjukkan mukjizat bagi beliau. Nabi berdoa untuk Urwah, moga jika ia menjual debu pun, ia akan meraup keuntungan. Padahal debu adalah suatu yang tidak berharga.
7- Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Keuntungan itu tidak dibatas. Boleh saja diambil keuntungan 10, 20, 25% atau lebih dari itu, asalkan tidak ada pengelabuan dalam jual belinya.”
8- Jika ada yang memberikan suatu harta untuk maksud pembelian barang tertentu, maka jika ternyata ia beli di bawah uang pemberian, maka uang sisa dari pembelian tersebut harus dikembalikan. Kisah Urwah di sini yang menunjukkan hal tersebut.
Namun jika si empunya harta tidak memberikan batasan, misal ia cuma mengatakan, “Belilah barang tersebut seharga Rp.100.000,-. Jika ada sisa, terserah mau dimanfaatkan untuk apa.” Seperti itu jika ada sisa pembelian, berarti boleh dimanfaatkan. Baca artikel Rumaysho.Com: Hukum Komisi Broker (Calo).
Semoga sajian pelajaran hadits tentang jual beli ini bermanfaat bagi pengunjung setia Rumaysho.Com.

Referensi:

Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Darul Wathon, cetakan pertama, tahun 1433 H, 9: 272-281.
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments

Ber-ILMU sebelum Berbisnis

Setiap orang menganggap mudah menjadi pedagang atau pebisnis. Yang dibutuhkan di awal-awal adalah memiliki modal, memahami produksi dan memahami pemasaran. Namun selaku seorang muslim yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, ada satu bekal juga yang mesti dipahami sebelum bekal-bekal tadi, yaitu memahami hukum syari’at yang berkaitan dengan perdagangan.
Akan tetapi, di akhir-akhir zaman sekarang ini, kebanyakan orang memang tidak peduli lagi dengan syariat, tidak peduli lagi manakah yang halal dan yang haram. Pokoknya segala macam cara ditempuh asalkan bisa menjalani hidup. Benarlah sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.”[1]
Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat
Prinsip inilah yang harus dipahami betul-betul oleh setiap muslim. Seseorang ketika ingin melakukan suatu amalan haruslah ia berilmu terlebih dahulu agar ia tidak salah jalan. Bukankah banyak yang beribadah tanpa ilmu, lalu amalannya tertolak dan sia-sia?
Oleh karenanya, kita seringkali menyaksikan bagaimana para ulama menekankan prinsip ini, sampai-sampai prinsip inilah yang mereka dahulukan di awal kitab mereka. Di antara contohnya adalah ulama hadits terkemuka yaitu Imam Bukhari. Di awal-awal kitab shahih Bukhari, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau mengemukakan firman Allah Ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.” Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus ada lebih dahulu sebelum amalan.
Ilmu adalah Pemimpin Amalan
Prinsip yang disampaikan Imam Bukhari di atas, dapat pula kita saksikan pada perkataan sahabat yang mulia, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”[2]
Prinsip seperti itu pun dijelaskan oleh para ulama lainnya ketika menjelaskan surat Muhammad ayat 19 dan perkataan Imam Bukhari di atas.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat, “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?[3]
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“[4]
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan.  Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”[5]
Ingin Menuai Kebaikan, Pelajarilah Bagaimana Prinsip Muamalah!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”[6] Ini berarti jika ingin diberi kebaikan dan keberkahan dalam berdagang, kuasailah berbagai hal yang berkaitan dengan hukum dagang.
Oleh karena itu, Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham prinsip muamalah untuk tidak berdagang di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا .
Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.[7]
Akibat Berdagang Tanpa Mengetahui Hukum Syari’at
Tentu saja akibatnya adalah parah. Ia akan mengakibatkan banyak keburukan karena terjerumus dalam yang haram seperti riba, penipuan, spekulasi dan lainnya. Orang seperti ini tidak akan mendatangkan kebaikan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”[8]
Contohnya bila seseorang tidak memahami apa itu riba, dia akan menuai bahaya yang besar. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.[9]
Ilmu Apa Saja yang Mesti Dikuasai Seorang Pedagang?
Intinya, seorang pedagang haruslah memiliki aqidah dan keyakinan yang benar. Itulah prinsip utama yang ia pegang. Jika aqidahnya rusak, bagaimana mungkin amalan lainnya bias baik dan bisa diterima di sisi Allah? Jadi inilah yang harus seorang pedagang ilmui dan jangan sampai disepelekan.
Kemudian setelah itu adalah ilmu yang ia butuhkan untuk menjalankan ibadah setiap harinya, yaitu tentang wudhu, mandi wajib, shalat, dan sebagainya.
Lalu yang ia kuasai adalah ilmu yang berkaitan dengan fiqih muamalah agar perdagangan atau bisnis yang ia jalankan tidak sampai membuatnya terjerumus dalam perkara yang haram.
Di antara sebab yang membuat bisnis atau perdagangan menjadi haram apabila di dalamnya ada tiga perkara ini:
  1. Riba
  2. Adanya penipuan
  3. Adanya taruhan atau spekulasi (untung-untungan)
Mengenai tiga perkara di atas, insya Allah ada pembahasan tersendiri dan panjang lebar yang akan menjelaskannya.
Perdagangan yang Benar dapat Menjadi Ibadah
Jika kita selalu mendasari muamalah dan perdagangan kita dengan ilmu, maka muamalah itu akan menjadi baik. Para ulama pun mengatakan bahwa perdagangan yang benar seperti inilah yang dapat menjadi ibadah dan menuai pahala di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى
Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).”[10]
Begitu pula dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراً يَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ
Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berfirman (yang artinya), “Lihatlah amalannya!” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rabbku, aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya), “Aku lebih berhak memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni.[11]
Lihatlah bagaimana seseorang yang baik dalam muamalah. Ia tidak ingin mencari keuntungan dalam transaksi utang piutang artinya ia tidak ingin menjalankan prinsip riba. Akhirnya ia pun menuai kebaikan dan pahala di akhirat.
Semoga Allah selalu memberkahi setiap langkah kita yang selalu berusaha menggapai ridho Allah melalui jalan yang ia perintahkan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 15 Shofar 1431 H




[1] HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah.
[2] Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Asy Syamilah
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108.
[4] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/144, Asy Syamilah.
[5] Fathul Bari, 1/108.
[6] Majmu’ Al Fatawa, 28/80
[7] Lihat Mughnil Muhtaj, 6/310
[8] Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15.
[9] Idem
[10] HR. Bukhari no. 2076, dari Jabir bin ‘Abdillah.
[11] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih.
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments

Perdagangan dalam Islam


oleh mahasiswa UNS
PENDAHULUAN

Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus dipahami peran dan tugas manusia di dunia. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56, yang artinya:
Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar mereka
beribadah (mengabdi) kepada-Ku”. 

Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai abdi Allah SWT maka manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha.

Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Dan dalam surat Al A’raf ayat 128:
Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.”

Islam adalah agama yang paling banyak mendorong umatnya untuk menguasai perdagangan. Karena itu, Islam memberikan penghormatan yang tinggi kepada para pedagang. Dalam Sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw, menempatkan dan mensejajarkan para pedagang bersama para Nabi, Syuhada dan Sholihin (Hadits riwayat Tarmizi). Menurut Ibnu Khaldun, bidang ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun peradaban Islam.

Namun, masalah perdagangan (bisnis) kurang mendapat tempat dalam gerakan peradaban Islam. Padahal sektor ini sangat penting untuk diaktualisasikan kaum muslimin menuju kejayaan Islam di masa depan. Tema perdagangan ini perlu diangkat ke permukaan mengingat kondisi obyektif kaum muslimin di berbagai belahan dunia sangat tertinggal di bidang perdagangan.

Dalam berbagai hadits Nabi Muhammad Saw sering menekankan pentingnya perdagangan. Di antaranya riwayat dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani). Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa profesi terbaik menurut Nabi Muhammad adalah perdagangan.

Namun sangat disayangkan, kaum muslimin tidak merealisasikan hadits ini dalam realitas kehidupan dan membiarkan perdagangan dikuasai orang lain, akibatnya ekonomi umat Islam kalah jauh apabila dibandingkan dengan ekonomi bangsa-bangsa yang lainnya. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi di masa Umar bin Khattab, yaitu ketika para sahabat mendapat harta ghanimah yang melimpah melalui ekspansi wilayah Islam ke Persia, Palestina dan negara-negara tetangga, karena itu para pejabat dan panglima tentera Islam mulai meninggalkan perdagangan. Umar mengingatkan mereka, “Saya lihat orang asing mulai banyak menguasai perdagangan, sementara kalian mulai meninggalkannya (karena telah menjadi pejabat di daerah dan mendapat harta ghanimah), Jangan kalian tinggalkan perdagangan, nanti laki-laki kamu tergantung dengan laki-laki mereka dan wanita kamu tergantung dengan wanita mereka”. 

Dari pernyataan Umar di atas, dapat dijelaskan bahwa jika perdagangan dikuasai umat lain (bangsa lain), dikhawatirkan umat Islam akan tergantung kepada bangsa tersebut. Apa yang dikhawatirkan Umar tersebut, kini telah terjadi di negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia, dimana umat Islam sangat tergantung pada bangsa-bangsa lain, bahkan ketergantungan itu merasuk kepada kebijakan ekonomi dan politik negara muslim, merasuk ke aspek budaya, ilmu pengetahuan, bahkan mengganggu aqidah dan akhlak umat Islam.
Betapa pentingnya umat Islam dalam menguasai perdagangan, sehingga Nabi Muhammad Saw mewajibkan umat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).

PEMBAHASAN

A. Perdagangan dalam Al-quran
Perdagangan secara umum berarti kegiatan jual beli barang dan/atau jasa yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi (SK MENPERINDAG No. 23/MPP/Kep/1/1998).

Dalam Al-quran, perdagangan dijelaskan dalam tiga bentuk, yaitu tijarah (perdagangan), bay’ (menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah tersebut masih banyak lagi istilah-istilah lain yang berkaitan dengan perdagangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan perdagangan global (QS. Al-Jum’ah : 9).

Kata tijarah adalah mashdar dari kata kerja yang berarti menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surat Al-Baqarah :16 dan 282, An-Nisaa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur :37, Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Pada surat Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surat lainnya hanya disebut masing-masing satu kali.
Sedangkan kata ba’a (menjual) disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu Surat Al-Baqarah :254 dan 275, Surat Ibrahim :31 dan Surat Al-Jum’ah :9.

Selanjutnya istilah lain dari perdagangan yang juga terdapat dalam Al-quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di antaranya berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya (surat Yusuf ayat 21 dan 22), yang menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf yang dijual oleh orang yang menemukannya.

Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman, ” Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang beruntung..

Apabila ayat ini kita perhatikan secara seksama, ada dua hal penting yang harus kita cermati, yaitu fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan wabtaghu min fadl Allah (carilah rezeki Allah).

Makna fantasyiruu adalah perintah Allah agar umat Islam segera bertebaran di muka bumi untuk melakukan aktivitas bisnis setelah shalat fardlu selesai ditunaikan. Allah SWT tidak membatasi manusia dalam berusaha, hanya di kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja. Allah memerintahkan kita untuk go global atau fi al-ard. Ini artinya kita harus menembus seluruh penjuru dunia.

Ketika perintah bertebaran ke pasar global bersatu dengan perintah berdagang, maka menjadi keharusan bagi kita membawa barang, jasa dan komoditas ekspor lainnya serta bersaing dengan pemain-pemain global lainnya. Menurut kaidah marketing yang sangat sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum memiliki daya saing di 4 P: Products, Price, Promotion, dan Placement atau delivery.

Dalam Surat Al-Quraisy Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraisy yang telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumber daya alam di negeri mereka. Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim panas.”

Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat bahwa perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.

B. Karakteristik Perdagangan Syari’ah
Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus diperhatikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al Muthoffifin ayat 2-7 :
Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam? Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka,tersimpan dalam Sijjin.”

Selain itu, Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dan ukuran yang penuh, tetapi juga dalam menimbulkan itikad baik dalam transaksi bisnis. Hasil beberapa pengamatan yang dilakukan menjelaskan bahwa hubungan buruk yang timbul dalam bisnis dikarenakan kedua belah pihak yang tidak dapat menentukan kejelasan secara tertulis syarat bisnis mereka. Untuk membina hubungan baik dalam berbisnis, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis dengan menyantumkan syarat-syaratnya, karena “yang demikian itu lebih adil di sisi Alloh, dan lebih menguatkan persaksian, dan lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.” (Al Baqoroh : 282-283)

Disamping itu, ada beberapa hal yang terkait dengan perdagangan syariah, yaitu :
  1. Penjual berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, sehingga konsumen akan merasa telah berbelanja sesuai syariah Islam, dimana konsumen tidak membeli barang sesuai keinginan tetapi menurut kebutuhan.
  2. Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas barang yang dijual sesuai dengan harganya, dan pembeli tidak dirangsang untuk membeli barang sebanyak-banyaknya.
  3. Hal yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme pasar, namun status kehalalan barang yang dijual adalah lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah, konsumen yang sebagian besar masyarakat awam akan merasa terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja yang mengandung unsur haram yang terkandung di dalamnya. Barang-barang yang dijual dengan perdagangan syariah juga diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum diantaranya bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan sebagian lagi memiliki label halal.
  4. Sesungguhnya barang dan komoditi yang dijual haruslah berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar dan harga yang berlaku.
C. Perdagangan Yang Dilarang
  1. Talqi – Jalab
Talqi-jalab adalah suatu kegiatan yang umum dilakukan oleh orang-orang Madinah, yaitu manakala para petani membawa hasil ke kota, lalu menjualnya kepada orang-orang di kota kemudian orang kota tersebut menjual hasil panen tersebut, dengan harga yang mereka tetapkan sendiri. Rosululloh tidak menyukai cara perdagangan seperti ini, karena beliau menganggap perbuatan tersebut mencurangi seseorang.
  1. Perdagangan melalui Al-Hadir-Libad
Ada beberapa orang bekerja sebagai agen-agen penjualan hasil panen dan semua hasil panen dijual melalui mereka. Mereka memperoleh keuntungan baik dari penjual maupun dari pembeli dan seringkali mencabut keuntungan sebenarnya yang harus diterima petani dan kepada para pembeli tidak diberi harga yang benar dan wajar. Rosululloh melarang bentuk perdagangan dengan menarik keuntungan dari penjual dan pembeli.
  1. Perdagangan dengan cara Munabazah
Dalam perdagangan secara munabazah, seseorang menjajakan pakaian yang dia miliki untuk dijual kepada orang lain dan penjualan tersebut menjadi sah, meskipun orang tersebut tidak memegang atau melihat barang tersebut. Berarti bahwa penjual langsung melemparkan barang kepada pembeli dan penjualan itu sah. Pembeli tidak ada kesempatan untuk memeriksa pakaian tersebut atau harganya. Ada kemungkinan penipuan atau kecurangan atau penggmbaran yang keliru dalam bentuk perdagangan seperti ini, sehingga Rosululloh melarang perdagangan dengan cara munabazah.
  1. Perdagangan dengan cara Mulamasah
Dalam perdangangan secara mulamasah, seseorang menjual sebuah pakaian dengan boleh memegang tapi tanpa perlu membuka atau memeriksanya. Hal ini juga dilarang Rosululloh karena keburukannya sama seperti munabazah.
  1. Perdagangan dengan cara Habal-Al-Habala
Bentuk perdagangan ini sangat umum di negara Arab pada waktu itu. Dalam perdagangan ini, seseorang menjual seekor unta betina dengan berjanji membayar apabila unta itu melahirkan seekor anak unta jantan atau betina. Cara perdagangan seperti inipun dilarang oleh Rosululloh karena mengandung unsur perkiraan atau spekulasi.
  1. Perdagangan dengan cara Al-Hasat
Dalam bentuk perdagangan seperti ini, penjual akan menyampaikan kepada pembeli bahwa apabila pembeli melemparkan pecahan-pecahan batu kepada penjual, maka penjualan akan dianggap sah. Cara seperti ini juga diharamkan oleh Rosululloh karena sama buruknya dengan perdagangan secara munabazah dan mulamasah.
  1. Perdagangan dengan cara muzabanah
Dalam bentuk perdagangan ini, buah-buahan ketika masih di atas pohon sudah ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk memeperoleh kurma dan anggur kering, atas sederhananya menjual buah-buahan segar untuk memperoleh buah-buahan kering. Rosululloh melarang cara seperti ini karena didasari atas perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika perkiraan ternyata salah
  1. Perdagangan dengan cara Muhaqolah
Dalam sistem muhaqolah ini, panen yang belum dituai dijual untuk memperoleh hasil panen yang kering. Rosululloh melarang cara perdagangan seperti ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar, Abu Said al Khudri dan Said Ibn Mussayyib. Bentuk ini sama dengan bentuk muzabanah dengan semua kemudharatannya.
  1. Perdagangan tanpa hak pemilikian
Perdagangan barang-barang khususnya yang tidak tahan lama, tanpa perolehan hak milik juga dilarang oleh Rosululloh karena mengandung unsur keraguan dan penipuan. Diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rosululloh bersabda: “Siapapun yang membeli gandum tidak berhak menjualnya sebelum memperoleh hak miliknya.”
  1. Perdagangan dengan cara Sarf
Perdagangan dengan cara sarf berarti menggunakan transaksi di mana emas dan perak dipakai sebagai alat tukar untuk memperoleh emas dan perak. Rosululloh bersabda bahwa pertukaran emas dengan emas merupakan riba kecuali dari tangan ke tangan, kurma dengan kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan, dan garam dengan garam adalah riba kecuali dari tangan ke tangan.
  1. Perdagangan dengan cara Al-Ghoror
Perdagangan yang dilakukan dengan cara melakukan penipuan terhadap pihak lan.
    1. Misrot
Misrot adalah hewan yang mempunyai susu, tapi susunya tidak diperas. Kebanyakan orang apabila berkeinginan menjual binatang ini terlebih dahulu diperah selama beberapa hari untuk menipu pembeli. Ini adalah salah satu cara dimana pembeli binatang merasa ditipu dan diminta untuk membayar dengan harga yang lebih mahal
    1. Najsh
Sederhananya, najsh itu bermakna terjadinya sesuatu kenaikan harga karena seseorang telah mendengar bahwa harga barang tersebut telah naik, lalu membelinya tetapi tidak karena ingin membelinya melainkan karena ingin menjualnya kembali dengan menetapkan harga yang lebih tinggi, atau berminat terhadap barang yang dijual dengan tujuan untuk menipu orang lain.
    1. Penjualan dengan sumpah
Penjual menjual barangnya (dalam harga tinggi) dengan melakukan sumpah tentang tingginya kualitas barang tersebut.
    1. Pemalsuan
Rosululloh melarang pemalsuan barang-barang yang akan dijual sebagaiman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
  1. Perdagangan dengan cara menyembunyikan
Cara seperti ini yaitu menyembunyikan gandum dan barang-barang lainnya untuk menaikkan harga dengan sengaja.
  1. Monopoli
Monopoli akan muncul manakala pusat kontrol pasokan (supply) barang atau jasa dipegang oleh satu orang atau sekelompok orang.dia yang mengontrol pasokan barang atau jasa dan menetapkan harga yang menguntungkan baginya, tetapi keuntungannya tidak bermanfaat bagi masyarakat.
D. Keadaan Perdagangan Saat Ini
Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Al-Qur’an saat ini mungkin terdapat pada Singapura atau Hongkong, negeri yang miskin sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di regional Asia Tenggara dan Pasifik. Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya alam yang ribuan kali lipat. Mungkin kita harus becermin pada Al-Qur’an yang selama ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi.
Meskipun Al-Qur’an cukup banyak membicarakan perdagangan bahkan dengan tegas memerintahkannya, dan meskipun negeri-negeri muslim memiliki kekayaan alam yang besar, namun ekonomi umat Islam jauh tertinggal dibanding negara-negara non Muslim. Banyak faktor yang membuat umat Islam tertinggal dari bangsa lain, antara lain, lemahnya kerjasama perdagangan sesama negeri muslim. Menurut catatan OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku “Menuju tata baru Ekonomi Islam, kegiatan perdagangan sesama negeri muslim hanya 12 % dari jumlah perdagangan negara-negara Islam”.
Fenomena lemahnya kerja sama perdagangan itu terlihat pada data-data berikut :
  1. Lebanon dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan Syiria mengimpor mentega dari Eropa Barat.
  2. Aljazair mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya ke Magribi
  3. Mesir adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi Aljazair, Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (impor) dari Eropa Barat.
  4. Aljazair, Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece, India, Philipine dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah mengekspor utama tembakau ke Amerika dan Eropa.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa produk Indonesia yang dibutuhkan negara muslim di Timur Tengah, harus melalui Singapura. Kounsekuensinya yang mendapat keuntungan besar adalah Singapura, karena ia membeli dengan harga murah dan menjual ke Timur Tengah dengan harga mahal. Dan negara kita sering kali cukup puas dengan kemampuan ekspor sekalipun mendapatkan keuntungan (margin) yang sedikit. Hal ini menunjukkan kebodohan kita dalam perdagangann internasional. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Nabi Muhammad yang telah meneladankan sikap fathanah (cerdas) dan komunikatif (tabligh) dalam perdagangan.
Dengan berbagai kelemahan dan fakta yang ada di atas, maka diperlukan penerapan beberapa langkah ataupun strategi yang baik dan sesuai/tidak jauh dari Al-Qur’an. Dalam melaksanakan strategi-strategi tersebut, maka harus didasarkan pada konsep berusaha yang sesuai syariat Islam. Konsep-konsep dasar dalam berusaha tersebut antara lain :
  1. Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib)
Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia jadi bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja untuk hanya mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik.
Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah :168)

Oleh karena itu, dalam berusaha Islam mengharuskan manusia untuk hanya mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW:

Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya . . .. . .Ingat! Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia adalah hati” (Hadits)

Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri, apabila hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak halal termasuk yang syubhat tidak boleh menjadi obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.
  1. Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)

Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman agar bila ingin memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh dengan jalan perniagaan (baik perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama ridho. Untuk penjelasannya dapat dikaji hadits berikut ini:

Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy untuk memungut hasil Khaibar. Maka ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma yang paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar demikian ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan Allah. Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu, tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma Khaibar) tadi.

Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa harga dalam setiap perniagaan harus mengikuti penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar. Karena penilaian yang dilakukan (oleh masyarakat) melalui mekanisme pasar akan memberikan penilaian yang adil. Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar. Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai. Dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang disebut sebagai uang.
  1. Fungsi Uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai di dalam transaksi
Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi sebagai alat tukar nilai. Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu.

Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak menerbitkan uang. Karena pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Sehingga pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi di negara tersebut dan kemampuan untuk memperoleh neraca perdagangan yang positif.”

Karena dalam syariah Islam uang adalah alat tukar nilai, maka uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan. Artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan. Karena pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari emas dan perak, maka dalam surat At Taubah ayat 34 dinyatakan:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih).”
  1. Berlaku adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan menghindari resiko yang melebihi kemampuan
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan taqwa.
Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)

Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, dimana berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An Nahl:90)
Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).
..Maka sempurnakanlah  takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al An’am:152)
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7-9)

Berlaku adil akan dekat dengan taqwa, karena itu berlaku tidak adil akan membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan Rasulullah SAW adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala sesuatu yang berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang menipu.
Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu tertipu kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena) seorang penipu (al gharuur). (Q.S. Al Faatir: 5)
Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad)

Sebaliknya atas harta milik sendiri dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilitas untuk membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan sehingga harus difikirkan dengan matang.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya, Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari keperluan, demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir.(Q.S. Al Baqarah:219)
  1. Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati
Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi, atas nama Allah SWT, dalam menjalankan usaha Islam mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.
Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)
Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)
  1. Manusia harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan
Manusia memang ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan, dimana sebagian diantaranya diberi kelebihan dibandingkan sebagian yang lain, dengan tujuan agar manusia dapat bekerjasama untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az Zukhruf :32)

Pakar ekonomi Islami, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa “Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh kebutuhan hidupnya. Semua manusia harus bekerjasama untuk memperoleh kebutuhan hidup dalam peradabannya.” Lebih lanjut Ibnu Khaldun juga menerangkan akan hasil kerjasama yang sekarang kita sebut synergy, sebagai berikut: “Hasil kerjasama sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali lipat dari jumlah mereka sendiri.”

PENUTUP
Rasulullah merupakan sosok teladan yang patut kita jadikan contoh, keberhasilan beliau dalam mengembangkan perekonomian umat telah terbukti. Hanya dalam waktu setahun setelah hijrah ke madinah, beliau berhasil membangun perekonomian yang sangat kuat. Hanya dalam waktu setahun umat Islam berhasil menguasai ekonomi yang selama ini dipegang oleh orang-orang Yahudi dan umat lainnya.
Rahasia kesuksesan tersebut adalah ternyata Rasulullah memprioritaskan pasar. Yang pertama kali dilirik oleh Rasulullah adalah pasar. Beliau membangun jalan dari masjid sampai ke pelosok-pelosok desa, sehingga masyarakat mempunyai akses pemasaran.

Selain itu Nabi Muhammad telah mempraktekan usaha perdagangan sejak berusia yang relatif muda, yaitu 12 tahun. Dan ketika berusia 17 tahun ia telah memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar negeri. Profesi inilah yang ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi Rasul di usia yang ke 40. Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader menyebutkan bahwa reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordania, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di jazirah Arab. Dalam konteks profesinya sebagai pedagang inilah ia dijuluki gelaran mulia, Al-Amin Afzalur Rahman juga mencatat dalam ekspedisi perdagangannya, bahwa Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara ketika itu, sebuah aktivitas perdagangan yang luar biasa.

Semangat inilah seharusnya yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum muslimin saat ini agar peradaban kaum muslimin bisa bangkit kembali di jagad ini melalui kejayaan ekonomi dan perdagangan.

Dengan mengambil contoh kisah diatas, umat Islam perlu memperhatikan perekonomian. Dahulu umat Islam pernah berjaya di bidang ekonomi, namun kini jauh tertinggal dibandingkan umat-umat yang lain. Karena itu, umat Islam harus mengejar ketinggalan tersebut dengan cara membangun ekonominya. Dan sektor perniagaanlah yang agaknya sesuai untuk lebih diperhatikan dalam membangun perekonomian.

Negara-negara Islam memiliki 70% cadangan minyak dunia dan menguasai 30% sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam juga merupakan pemasok dan penyuplay 42% permintaan petrolium (minyak) dunia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim memiliki potrensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto. Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta. (Artikel)
Mannan, Abdul. 1995. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
http://ditjenpdn.depdag.go.id/pls/portal30/url/folder/
http://fossei.4t.com/Artikel.htm
http://muhammadfendisyariah.blog.friendster.com/about/
http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_cara.php?idKategori=1
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments

Belajar Dagang Cara Nabi

Nabi Muhammad SAW tercatat dalam sejarah adalah pembawa kemaslahatan dan kebaikan yang tiada bandingan untuk seluruh umat manusia. Bagaimana tidak karena Rasulullah SAW telah membuka zaman baru dalam pembangunan peradaban dunia. Beliaulah adalah tokoh yang paling sukses dalam bidang agama (sebagai Rasul) sekaligus dalam bidang duniawi (sebagai pemimpin negara dan peletak dasar peradaban Islam yang gemilang selama 1000 tahun berikutnya).

Kesuksesan Rasulullah SAW itu sudah banyak dibahas dan diulas oleh para ahli sejarah Islam maupun Barat. Namun ada salah satu sisi Muhammad SAW ternyata jarang dibahas dan kurang mendapat perhatian oleh para ahli sejarah maupun agama yaitu sisinya sebagai seorang pebisnis ulung. Padahal manajemen bisnis yang dijalankan Rasulullah SAW hingga kini maupun di masa mendatang akan selalu relevan diterapkan dalam bisnis modern. Setelah kakeknya yang merawat Muhammad SAW sejak bayi wafat, seorang pamannya yang bernama Abu Thalib lalu memeliharanya.

Abu Thalib yang sangat menyayangi Muhammad SAW sebagaimana anaknya sendiri adalah seorang pedagang. Sang paman kemudian mengajari Rasulullah SAW cara-cara berdagang (berbisnis) dan bahkan mengajaknya pergi bersama untuk berdagang meninggalkan negerinya (Makkah) ke negeri Syam (yang kini dikenal sebagai Suriah) pada saat Rasulullah SAW baru berusia 12 tahun. Tidak heran jika beliau telah pandai berdagang sejak berusia belasan tahun. Kesuksesan Rasulullah SAW dalam berbisnis tidak terlepas dari kejujuran yang mendarah daging dalam sosoknya.

Kejujuran itulah telah diakui oleh penduduk Makkah sehingga beliau digelari Al Shiddiq. Selain itu, Muhammad SAW juga dikenal sangat teguh memegang kepercayaan (amanah) dan tidak pernah sekali-kali mengkhianati kepercayaan itu. Tidak heran jika beliau juga mendapat julukan Al Amin (Terpercaya). Menurut sejarah, telah tercatat bahwa Muhammad SAW melakukan lawatan bisnis ke luar negeri sebanyak 6 kali diantaranya ke Syam (Suriah), Bahrain, Yordania dan Yaman. Dalam semua lawatan bisnis, Muhammad selalu mendapatkan kesuksesan besar dan tidak pernah mendapatkan kerugian.
Lima dari semua lawatan bisnis itu dilakukan oleh beliau atas nama seorang wanita pebisnis terkemuka Makkah yang bernama Khadijah binti Khuwailid. Khadijah yang kelak menjadi istri Muhammad SAW, telah lama mendengar reputasi Muhammad sebagai pebisnis ulung yang jujur dan teguh memegang amanah. Lantaran itulah, Khadijah lalu merekrut Muhammad sebagai manajer bisnisnya. Kurang lebih selama 20 tahun sebelum diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun, Muhammad mengembangkan bisnis Khadijah sehingga sangat maju pesat. Boleh dikatakan bisnis yang dilakukan Muhammad dan Khadijah (yang menikahinya pada saat beliau berusia 25 tahun) hingga pada saat pengangkatan kenabian Muhammad adalah bisnis konglomerat.

Pola manajemen bisnis apa yang dijalankan Muhammad SAW sehingga bisnis junjungan kita itu mendapatkan kesuksesan spektakuler pada zamannya ? Ternyata jauh sebelum para ahli bisnis modern seperti Frederick W. Taylor dan Henry Fayol pada abad ke-19 mengangkat prinsip manajemen sebagai sebuah disiplin ilmu, ternyata Rasulullah SAW telah mengimplementasikan nilai-nilai manajemen modern dalam kehidupan dan praktek bisnis yang mendahului masanya. Berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern, Rasulullah SAW telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya.

Seperti dikatakan oleh Prof. Aflazul Rahman dalam bukunya “Muhammad: A Trader” bahwa Rasulullah SAW adalah pebisnis yang jujur dan adil dalam membuat perjanjian bisnis. Ia tidak pernah membuat para pelanggannya mengeluh. Dia sering menjaga janjinya dan menyerahkan barang-barang yang dipesan dengan tepat waktu. Muhammad SAW pun senantiasa menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi dalam berbisnis. Dengan kata lain, beliau melaksanakan prinsip manajemen bisnis modern yaitu kepuasan pelanggan (customer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), kemampuan, efisiensi, transparansi (kejujuran), persaingan yang sehat dan kompetitif. Dalam menjalankan bisnis, Muhammad SAW selalu melaksanakan prinsip kejujuran (transparasi). Ketika sedang berbisnis, beliau selalu jujur dalam menjelaskan keunggulan dan kelemahan produk yang dijualnya.

Ternyata prinsip transparasi beliau itu menjadi pemasaran yang efektif untuk menarik para pelanggan. Beliau juga mencintai para pelanggannya seperti mencintai dirinya sehingga selalu melayani mereka dengan sepenuh hatinya (melakukan service exellence) dan selalu membuat mereka puas atas layanan beliau (melakukan prinsip customer satisfaction).

Dalam melakukan bisnisnya, Muhammad SAW tidak pernah mengambil margin keuntungan sangat tinggi seperti yang biasa dilakukan para pebisnis lainnya pada masanya. Beliau hanya mengambil margin keuntungan secukupnya saja dalam menjual produknya.Ternyata kiat mengambil margin keuntungan yang dilakukan beliau sangat efektif, semua barang yang dijualnya selalu laku dibeli Orang-orang lebih suka membeli barang-barang jualan Muhammad daripada pedagang lain karena bisa mendapatkan harga lebih murah dan berkualitas. Dalam hal ini, beliau melakukan prinsip persaingan sehat dan kompetitif yang mendorong bisnis semakin efisien dan efektif.

Boleh dikatakan Rasulullah SAW adalah pelopor bisnis yang berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang adil dan sehat. Beliau juga tidak segan mensosialisasikan prinsip-prinsip bisnisnya dalam bentuk edukasi dan pernyataan tegas kepada para pebisnis lainnya. Ketika menjadi kepala negara, Rasulullah SAW mentransformasikan prinsip-prinsip bisnisnya menjadi pokok-pokok hukum. Berdasarkan hal itu, beliau melakukan penegakan hukum pada para pebisnis yang nakal. Beliau pula yang memperkenalkan asas “Facta Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan perjanjian. Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan transaksi bisnis yang dibangun atas dasar saling setuju.

Ketika Nabi Muhammad SAW, berusia 25 tahun, sebelum diangkat menjadi seorang nabi dan rasul, beliau pernah menjalankan perniagaan bersama Siti Khadijah ke negeri Syam. Pada waktu berdagang, ia ditemani oleh Maisarah, budak Siti Khadijah.
  • Kejujuran
  • keramahan
  • sopan santun yang ditunjukan oleh pemuda Muhammad dalam berdagang membuat kagum Maisarah.
  • Misalnya jika barang dagangannya dijual jelek maka dikatakan jelek. Begitu pun sebaliknya, jika barang-barang itu baik dikatakan baik. Beliau tidak menyembunyikan barang-barang yang jelek di balik barang-barang yang baik.
  • Harga yang ditawarkan kepada pembeli sesuai dengan yang disepakati Siti Khadijah. Ia tidak mengambil untung diluar yang disepakati. Oleh karena itu, banyak pembeli yang terkesan dan tertarik cara berdagang beliau.
Keluhuran sifat beliau ini kemudian diceritakan oleh Maisarah kepada majikannya. Khadijah pun merasa kagum dan terkesan dengan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW. Maka hubungan perdagangan antara keduanya berlanjut ke jenjang perkawinan.

BMT RQ
Posted on by https://bmtrizqonaikabu.blogspot.com/ | No comments